Mengenai Saya

Foto saya
Jika Melihat Kemunkaran Cegahlah dengan Tangan atau lidah, atau hatimu...

Sabtu, 05 November 2011

Khutbah iedul adha 2011

MENELADANI IBRAHIM DALAM KEHIDUPAN
الله أكبر الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر ، الله أكبر ولله الحمد.
الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا . لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كره المشركون . لا إله إلا الله وحده صدق وعده ونصر عبده وأعز جنده وهزم الأحزاب وحده . لا إله إلا الله والله أكبر . الله أكبر ولله الحمد .
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا ، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلله فلا هادي له ، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله 
اللهم صل على محمد وعلى آله وأزواجه أمهات المؤمنين وأصحابه الأخيار رضوان الله عليهم ومن دعا بدعوته وسلك سلوكه واتبع سنته إلى يوم الدين . أما بعد أيها المسلمون أوصيكم ونفسي بتقوى الله عز وجل.
Ma’asyiral Muslimin Rohimakumullah

Pada pagi ini kita berkumpul melantunkan Takbir membesarkan Allah Swt, memujiNya dan bertasbih kepada-Nya. Tiada yang layak dipuji kecuali hanya Dia, Dia yang menghidupkan, Dia yang mematikan, Dia yang memberi rezeki dan Dialah Allah yang berkuasa atas segala sesuatu dalam kehidupan kita, sekarang, hari ini dan dimasa yang akan datang.

Ma’asyiral Muslimin dan Muslimat Jama’ah shalat ied yang berbahagia
Saudara-saudara kita yang menjadi jama’ah haji pagi ini berangkat menuju Mina untuk melempar Jamratul ‘Aqabah stelah semalam mereka bermalam di Muzdalifah. Kemarin mereka menghabiskan seharian penuh berwuquf di ‘Arafah, menadahkan tangan kepada Allah swt  memohon ampun-Nya dan berkenan membukakan pintu rahmat-Nya. Kita yang berada di tanah air, mengiringi ibadah dengan puasa ‘Arafah tanggal 9 Zulhijjah. Tidak ada hari yang lebih mulia, kecuali hari Arafah, yang apabila seorang hamba berpuasa maka ia akan mendapatkan Fadhilah yang dapat menghapuskan dosanya ditahun yang lalu dan dosanya di tahun ini.

الله أكبر  الله أكبر ولله الحمد
Saudara-Saudara Jama’ah shalat ied yang berbahagia

Bukan suatu hal kebetulan Allah Swt menetapkan kewajiban Haji kepada ummat Muhammad Shallahu alaihi Wasallam. Haji adalah Ibadah yang mengandung makna penghambaan yang luar biasa kepada Allah Swt, dan hal itu sesuai dengan hakikat penciptaan manusia itu sendiri, yaitu penghambaan diri kepada Allah swt. Hal itu  ditegaskan oleh Allah swt :
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Tidaklah Kuciptakan Jin dan Manusia, melainkan untuk mengabdi kepadaKu. (QS az-Zariyaat: 56)

Perlu kita sadari bahwa setiap praktik Ibadah Haji sesungguhnya mengandung makna penghambaan. Ketika seseorang thawaf, Sa’i, wuquf, Mabit, melempar Jumroh, semua kegiatan itu merupakan wujud penghambaan manusia kepada al-Ma’bud Subhanahu wata’ala. Hal ini sering dilupakan umat Islam termasuk mereka yang melaksanakan ibadah Haji. Beberapa diantara saudara-saudara kita yang berhaji pada  umumnya melakukan manasik haji  begitu saja tanpa disertai penghayatan atas penghambaan kepada Allah Azza wajalla. Bahkan tak sedikit mereka yang melaluinya sebagai formalitas belaka, tanpa mendalami dan merasakan manisnya berhaji. Kalau kita perhatikan ucapan Talbiyah itu, isinya semua berupa penghambaan kepada Allah swt.
لبيك اللهم لبيك . لبيك لا شريك لك لبيك .إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك
“Aku datang memenuhi panggilan Mu, Ya Allah. Aku datang memenuhi Panggilan Mu. Tiada Sekutu bagi Mu. Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan dan juga kerajaan hanya milik Mu. Tiada Sekutu bagi Mu.”

Betapa jelasnya pengakuan akan penghambaan itu keluar dari mulut orang yang berihram haji dan umroh. Pengakuan bahwa kedatangannya dari negeri jauh, melintas samudera dan benua, hanyalah memenuhi panggilan Allah swt semata. Pengakuan bahwa Allah itu hanya Satu, tidak ada sekutu bagiNya. Inilah esensi Tawhid. Pengakuan bahwa pujian hanya pantas untuk Allah. Karenanya pujian-pujian berlebihan tak pantas diberikan kepada manusia, apalagi manusianya pernah memusuhi Allah. Pengakuan bahwa nikmat adalah kepunyaan Allah semata. Kita sebagai manusia, hanya diberi amanah secuil dari nikmat itu untuk dirasakan oleh sebagian kita, dan sekaligus menjadi ujian bagi diri kita. Karenanya kita harus banyak mensyukurinya dan tidak mabuk dalam nikmat itu. Jika Allah berkehendak, nikmat itu akan mudah untuk dicabut-Nya dalam waktu yang sekejap saja. Pengakuan bahwa kerajaan adalah milik Allah Azza Wajalla. Kekuasaan yang diberikanNya kepada sebagian manusia, hanyalah sedikit dan bersifat sementara. Kita hanyalah hamba yang tidak memiliki apapun dan tak berkuasa sedikitpun. Segala-segalanya hanya milik Allah dan tunduk pada kekuasaan-Nya. Pengakuan sekali lagi bahwa Allah tidak bersekutu dengan sesuatu makhluq apapun. Dia satu-satunya Illah (Tuhan) yang berhak menerima penyembahan dari makhluq. Begitulah seharusnya essensi dari isi dan makna Talbiyah itu yang sesungguhnya.

Ikrar yang begitu tegas dan diteriakkan berkali-kali sepanjang hari Arafah, malam hari di muzdalifah, hingga sampai di Mina pada pagi 10 zulhijjah, seharusnya meninggalkan bekas pada diri kaum Muslimin. Kalau kita renungkan haji, ia sungguh merupakan wisata ruhani yang kental dengan muatan ‘aqidah. Ketika wukuf di Arafah, diharuskan memperbanyak zikir kepada Allah, menjauhkan diri dari perbuatan yang tak bermanfaat, seperti berfoto-foto, jalan ke sana kemari, mencari teman, mengunjungi handai taulan, seperti kebiasaan banyak jemaah haji kita. Essensi dari Padang Arafah bukanlah seperti itu. Arafah diisi dengan penghayatan, pematangan Aqidah, membulatkan penghambaan diri kepada Al’Aziz al-Jabbar. Bila haji dilaksanakan dengan pola seperti ini, ia akan melahirkan sosok manusia baru dengan akidah yang tangguh. Komitmen kepada Islam yang sangat tinggi. Kecintaan kepada Allah swt yang mengalahkan segala-galanya. Siapapun yang kembali dari mengerjakan haji akan berubah dan mengalami perubahan yang sangat signifikan.

الله أكبر  الله أكبر ولله الحمد
Saudara-Saudara Jama’ah shalat ied yang berbahagia

Di pagi penuh berkah ini mari kita tolehkan mata sejarah kita untuk mengenang jejak langkah penuh pesona Nabi Ibrahim yang mulia, suri tauladan bagi kita semua. Sosok Nabi yang berkarakter sempurna dalam menorehkan sejarah hidupnya. Ibrahim yang menjadi ‘ummat’ dalam kesendiriannya, yang menjadi figur bagi generasi setelahnya. Keagungan pribadinya membuat kita bahkan Nabi Muhammad Saw harus mampu mengambil keteladanan darinya, Allah Swt berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِى اِبْرَاهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ
Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QS Al-Mumtahanah:4)

Ada banyak keteladanan Ibrahim yang terekam dalam al-Qur’an al-Karim. Dalam Al-Quran, Ibrahim disebut sebanyak 121 ayat. Dari informasi 121 ayat itu, paling tidak ada tiga sifat keteladanan dalam diri Nabi Ibrahim AS. Keteladanan pertama yang bisa kita peroleh dari Ibrahim adalah keteguhan beliau dalam memegang prinsip, khususnya prinsip tauhid. Dalam menghadapi tantangan seberat apapun, termasuk saat dia berhadapan dengan bapaknya sendiri yang syirik, beliau sangat teguh dalam mempertahankan aqidah. Allah swt berfirman :

“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS, at-taubah : 114)

Dari ayat itu pula kita dapat informasi bahwa Ibrahim juga seorang yang lembut dan penyantun. Sikap keras dalam memegang prinsip tauhid, tidak lantas membuat sikap terhadap sesama manusia menjadi sedemikian keras dan kaku. Hubungan baik dengan sesama manusia tetap dijaga.

Jama’ah shalat ied yang berbahagia….

Keteladanan kedua yang dapat kita ambil adalah Ibrahim merupakan sosok pejuang sejati yang tidak mempunyai rasa putus asa jika menghadapi tantangan yang berat. Kegigihan dalam perjuangan ini perlu ditiru mengingat tantangan dakwah Islam akhir-akhir ini juga menghadapi tantangan jaman yang kian berat. Firman Allah dalam Q.S. al-Anbiya: 51-66 menyuguhkan kisah keteguhan Ibrahim bahkan saat berhadapan dengan kekuasaan sekalipun. Ibrahim berprinsip, bahwa kebenaran adalah kebenaran yang tidak bisa ditawar-tawar. Hal ini tentu berbeda dengan kebanyakan para pemimpin ummat kita sekarang yang mudah menjual kebenaran untuk ditukar dengan kekuasaan dan uang. Karena keteguhan Ibrahim ini, kemudian Allah menyelamatkan Ibrahim dari hukuman api yang membakar, seperti tergambar dalam Q.S. al-Anbiya: 69


“Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”

Hal ketiga yang merupakan puncak keteladanan Ibrahim adalah kerelaan beliau mengorbankan apa saja untuk Allah SWT. Termasuk harus mengorbankan sang putra tercinta Ismail AS. Allah menggambarkan pengorbanan Ibrahim itu dalam sebuah dialog antara Ibrahim dengan Ismail yang terekam dalam Q.S. Q.S. ash-Shaffat: 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ


“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Walaupun kemudian di saat Ibrahim sudah bersiap hendak menyembelih Ismail, Allah menggantinya dengan seokor hewan sembelihan, seperti diinformasikan dalam Q.S. ash-Shaffat: 107 yang berbunya وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”

Kenangan kita akan peristiwa hari raya Iedul Qurban, mentautkan kembali dimensi sejarah, tanggung jawab sosial kekinian serta masa depan keummatan. Peristiwa Iedul Adha menyegarkan kembali kepada ummat kisah melodramatis yang terjadi antara nabi Ibrahim dan Ismail AS. Peristiwa agung penyembelihan Ismail memberikan pelajaran yang sangat dalam dan bermakna kepada ummat ini akan betapa pentingnya pengorbanan tulus ummat ini untuk penegakan nilai-nilai agama yang bisa hadir nyata dalam realitas, dan menancap kuat di tengah masyarakat. Bagi kita ummat Islam, apapun yang ada pada diri kita, kita rela kurbankan asal untuk kepentingan agama, sebagaimana yang diteladankan Nabi Ibrahim As. Kita komitmen untuk konsisten dalam jalan Allah yang lurus.

الله أكبر  الله أكبر ولله الحمد
Saudara-Saudara Jama’ah shalat ied yang berbahagia

Sejarah ummat ini membutuhkan hadirnya kembali penyegaran-penyegaran tentang prinsip ketulusan, kepedulian yang perlu dilakukan secara nyata dan benar seperti yang pernah dicontohkan oleh nabi Ibrahim, Ismail dan Muhammad SAW. Prinsip yang saat ini banyak memudar, dan bahkan hampir sirna ditelan kepentingan dunia. Pengorbanan kita akan bermakna jika dia lahir dari sikap takwa kita kepada Allah swt. Al-Quran menjelaskan hal ini di dalam surat Al-hajj ayat 37 :
Surah Al Ahajj ayat 37 tentang ketakwaan dan kurban dalam ibadah haji
“Sekali-kali Allah tidak akan menerima daging maupun darah dari hewan qurban, tetapi yang diterima oleh Allah adalah sikap takwa yang menyemangati berqurban itu, demikianlah Allah telah menciptakan hewan-hewan qurban itu agar kalian selalu dapat mengagungkan Allah SWT dan mensyukuri hidayahNya kepada kalian semua, dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang berbuat ihsan”.

Dari dimensi ini maka merealisasikan berqurban adalah upaya untuk selalu memungkinkan hadirnya kembali sifat taqwa. Berqurban perlu dipertajam maknanya dan sekaligus diperluas realisasinya. Sebab dalam berqurban selain ada makna pengorbanan dengan menyembelih hewan qurban atau pengorbanan dalam bentuk pengeluaran infaq dan shodaqoh untuk membeli hewan qurban dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT, ia juga bermakna hadirnya kedekatan kepada sesama ummat manusia, karena dengan hadirnya hari raya Iedul Qurban ini tersegarkanlah kembali jalinan silaturahim dengan hadir dalam majelis-majelis sholat Iedul Adha.

الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Negeri ini membutuhkan manusia-manusia yang bersemangat untuk menapak tilas keteladanan Ibrahim agar bangsa yang setengah ‘merana’ ini kembali berjaya menjadi sebuah negeri makmur, aman dan sentosa sebagaimana yang pernah Ibrahim panjatkan doa kepada Allah :
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali". (QS, al-Baqarah: 126)

Sesungguhnya apa yang dipancangkan oleh Nabi Ibrahim itu adalah sebuah momentum sejarah yang menentukan perjalanan hidup manusia sampai sekarang ini. Ia menghendaki sebuah masyarakat ideal yang bersih; yang merupakan refleksi otentik interaksinya dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai luhur, dan tata aturan (syariat) yang telah menjadi dasar kehidupan bersama. Sebab idealisme dan kebersihan sebuah masyarakat hanya mungkin terjadi jika terdapat kesesuaian antara realitas aktual dengan keyakinan (aqidah), nilai-nilai luhur (akhlaq), dan tata aturan (syariat) yang diyakini. Sistem kepercayaan, nilai-nilai, dan tata kehidupan yang telah dipancangkan oleh Nabi Ibrahim itulah yang terbukti melahirkan cita-cita ketenteraman dan kemakmuran hidup manusia. Itulah agama Nabi Ibrahim, agama Islam yang tulus dan jelas. Tidak ada yang membencinya kecuali orang yang menzhalimi, memperbodoh, dan merendahkan diri sendiri.

Ibrahim adalah suri tauladan abadi. Ketundukannya kepada sistem kepercayaan, nilai-nilai dan tata aturan ilahiah selalu menjadi contoh yang hidup sepanjang masa. Dia telah mengabadikan dirinya tatkala dia dengan sadar melakukan kebaikan dan kebajikan yang terus berbuah dan bisa dipetik buah ranumnya oleh manusia setelahnya. Kita perlu menghadirkan tauladan itu dalam diri kita semua, agar iman kita menjadi kokoh, agar mental kita menjadi mantap, agar hati kita menjadi jernih, dan pikiran kita menjadi lebih tertata rapi. Sebab suatu saat nanti manusia akan mengalami guncangan besar karena kehilangan sosok teladan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Rasulullah SAW 15 abad yang lalu memberikan isyarat tentang situasi yang akan menimpa sebuah bangsa yang tidak konsisten dalam menjalani tata aturan agama. Mereka akan dilanda berbagai krisis sosial, politik, ekonomi, moral, dan budaya yang berkepanjangan. Rasulullah Saw bersabda :

إذا اقترب الزمان كثر لبس الطيالسة وكثرت التجارة وكثر المال وعظم رب المال وكثرت الفاحشة وكانت إمرة الصبيان وكثر النساء وجار السلطان وطفف في المكيال والميزان يربي الرجل جرو كلب خير له من أن يربي ولداً ولا يوقر كبير ولا يرحم صغير ويكثر أولاد الزنا حتى إن الرجل ليغشى المرأة على قارعة الطريق فيقول أمثلهم في ذلك الزمان: لو اعتزلتم عن الطريق، يلبسون جلود الضأن على قلوب الذئاب أمثلهم في ذلك الزمان المداهن".
(الطبراني) ‏
“Apabila akhir zaman semakin dekat maka banyak orang yang berpakaian jubah, dominasi perdagangan, harta kekayaan melimpah, para pemilik modal diagungkan, kemesuman merajalela, kanak-kanak dijadikan pemimpin, dominasi perempuan, kelaliman penguasa, manipulasi takaran dan timbangan, orang lebih suka memelihara anjing piaraannya daripada anaknya sendiri, tidak menghormati orang yang lebih tua, tidak menyayangi yang kecil, membiaknya anak-anak zina, sampai-sampai orang bisa menyetubuhi perempuan di tengah jalan, maka orang yang paling baik di zaman itu hanya bisa mengatakan: tolonglah kalian menyingkir dari jalan, mereka berpakaian kulit domba tetapi berhati serigala, orang paling ideal di zaman itu adalah para penjilat.”
(HR, Thabrani)

Saudara-Saudara Jama’ah shalat ied yang berbahagia

Fenomena sosial yang dikhawatirkan Rasulullah SAW tersebut pada kenyataannya telah bermunculan dan hadir nyata di di tengah-tengah bangsa yang sedang dirundung krisis multi dimensi ini. Kita dapat menyaksikan lahirnya manusia-manusia yang secara zahir berpenampilan rapih, bersih, menarik, perlente, dengan gaya dan isi pembicaraan yang memukau seolah ingin menggambarkan tingginya kemampuan intelektual mereka dan keberpihakan kepada kebenaran dan keadilan. Padahal, kondisi sebenarnya adalah mereka membenci dan memusuhi tegaknya kebenaran dan keadilan dalam kehidupan bahkan sekedar untuk dirinya sendiri.

Spirit keikhlasan berkurban Ibrahim dan ketulusan Ismail hendaknya menjalar deras dalam kehidupan sehari-hari, terutama kepada para peminpinnya. Para pemimpin yang mampu menguburkan kepentingan pribadinya demi kepentingan bangsanya sebagai refleksi ketaatan pada Allah Rabb-Nya. Para pemimpin yang senantiasa menjadi pionir keadilan demi kesejahteraaan rakyatnya. Para peminpin yang dalam darahnya mengalir semangat berkurban dan bukan mengorbankan orang lain demi kepentingannya.
Masih adakah pemimpin yang berpikir ikhlas demi kepentingan rakyat, bangsa dan ummatnya ? Masih adakah sosok yang bermakmum di belakang keikhlasan Nabi Ibrahim dan ketulusan Nabi Ismail ? Pertanyaa-pertanyaan seperti itu sering muncul karena pada alam nyata kita memang disuguhi dengan berbagai  ketidak jujuran. Sajian sehari-hari kita adalah intrik yang membuat kita jauh dari ajaran agama dan kehidupan yang fitrah. Kedustaan, kebohongan, bahkan pembodohan yang kadang kala di luar akal sehat manusia menjadi tradisi yang sudah dianggap normal. Terkadang, kita diajarkan untuk menjadi pendusta yang terstruktur dengan manajemen kedustaan yang demikian rapi. Padahal Rasulullah pernah mengingatkan :
”Hati-hati dengan dusta, sebab dusta akan membawa pada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa akan menyeret ke naraka. Seseorang yang berulang kali berdusta akan terbentuk sifat dan perilaku yang dituliskan sebagai pendusta” (Riwayat Muslim)


الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Kita mengalami krisis berlapis. Kejujuran kita yang menipis, kedustaan kita yang terus menggunung, Ketidakadilan meraja lela, korupsi tidak terkira, pemiskinan yang semakin nyata dan lain sebagainya. Fenomena itu semua merupakan akibat dari spirit berkurban, spirit menolong sesama, terhapus dari kamus dan ensiklopedi keseharian kita ….. Maka, di hari yang agung ini, marilah kita hendaknya berniat dengan ikhlas untuk meneladani dengan setia keteladanan Nabi kita Ibrahim As. Agar bangsa ini tidak tersungkur berlama-lama dan kita bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Hanya dengan pengorbanan yang ikhlas, dengan berorientasi akhirat lillahi ta’ala dan keimanan yang mantap, negeri ini akan menjelma menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.

Untuk itu, marilah kita tutup khutbah Ied pada hari ini dengan sama-sama berdo'a kepada Allah swt:

إِنَّ الله وَمَلئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلى النَّبِى ياَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلى مُحَمَّدٍ وَعَلى الِهِ وَاَصْحبِهِ اَجْمَعِيْنَ وَارْحَمْنَا بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
 اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ.
اللهمَّ اجْعَلْ لَنَا يَوْمَ الْعِيْدَ يَوْمًا مُبَارَكًا
 اللهمَّ اغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا.
اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ النَّاصِرِيْنَ وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ
 وَاغْفِرْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ
 وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ.
رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
ربنا تقبل منا إنك أنت السميع العليم و تب علينا إنك أنت التواب الرحيم
رَبَّنَا آتِنَا فيِ الدُنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قَنَا عَذاَبَ النَارِ
 سبحان ربك رب العزة عما يصفون و سلام على المرسلين
 والحمد لله رب العالمين

Jumat, 04 November 2011

MAKHLUQ MULIA ITU BERNAMA LEBAH

Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan (yang dihinggapinya).” (Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Bazzar)
Seorang mukmin adalah manusia yang memiliki sifat-sifat unggul. Sifat-sifat itu membuatnya memiliki keistimewaan dibandingkan dengan manusia lain. Sehingga di mana pun dia berada, kemana pun dia pergi, apa yang dia lakukan, peran dan tugas apa pun yang dia emban akan selalu membawa manfaat dan maslahat bagi manusia lain. Maka jadilah dia orang yang seperti dijelaskan Rasulullah saw., “Manusia paling baik adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lain.”
Kehidupan ini agar menjadi indah, menyenangkan, dan sejahtera membutuhkan manusia-manusia seperti itu. Menjadi apa pun, ia akan menjadi yang terbaik; apa pun peran dan fungsinya maka segala yang ia lakukan adalah hal-hal yang membuat orang lain, lingkungannya menjadi bahagia dan sejahtera.
Nah, sifat-sifat yang baik itu antara lain terdapat pada lebah. Rasulullah saw. dengan pernyataanya dalam hadits di atas mengisyaratkan agar kita meniru sifat-sifat positif yang dimiliki oleh lebah. Tentu saja, sifat-sifat itu sendiri memang merupakan ilham dari Allah swt. seperti yang Dia firmankan, “Dan Rabbmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu).’ Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 68-69)
Sekarang, bandingkanlah apa yang dilakukan lebah dengan apa yang seharusnya dilakukan seorang mukmin, seperti berikut ini:
1.    Hinggap di tempat yang bersih dan menyerap hanya yang bersih.
Lebah hanya hinggap di tempat-tempat pilihan. Dia sangat jauh berbeda dengan lalat. Serangga yang terakhir amat mudah ditemui di tempat sampah, kotoran, dan tempat-tempat yang berbau busuk. Tapi lebah, ia hanya akan mendatangi bunga-bunga atau buah-buahan atau tempat-tempat bersih lainnya yang mengandung bahan madu atau nektar.

Begitulah pula sifat seorang mukmin. Allah swt. berfirman: Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu. (Al-Baqarah: 168) (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-A’raf: 157)
Karenanya, jika ia mendapatkan amanah dia akan menjaganya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak akan melakukan korupsi, pencurian, penyalahgunaan wewenang, manipulasi, penipuan, dan dusta. Sebab, segala kekayaan hasil perbuatan-perbuatan tadi adalah merupakan khabaits (kebusukan).

2. Mengeluarkan yang bersih.
Siapa yang tidak kenal madu lebah. Semuanya tahu bahwa madu mempunyai khasiat untuk kesehatan manusia. Tapi dari organ tubuh manakah keluarnya madu itu? Itulah salah satu keistimewaan lebah. Dia produktif dengan kebaikan, bahkan dari organ tubuh yang pada binatang lain hanya melahirkan sesuatu yang menjijikan. Belakangan, ditemukan pula produk lebah selain madu yang juga diyakini mempunyai khasiat tertentu untuk kesehatan: liurnya!

Seorang mukmin adalah orang yang produktif dengan kebajikan. “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Al-Hajj: 77)
Al-khair adalah kebaikan atau kebajikan. Akan tetapi al-khair dalam ayat di atas bukan merujuk pada kebaikan dalam bentuk ibadah ritual. Sebab, perintah ke arah ibadah ritual sudah terwakili dengan kalimat “rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu” (irka’u, wasjudu, wa’budu rabbakum). Al-khair di dalam ayat itu justru bermakna kebaikan atau kebajikan yang buahnya dirasakan oleh manusia dan makhluk lainnya.

Segala yang keluar dari dirinya adalah kebaikan. Hatinya jauh dari prasangka buruk, iri, dengki; lidahnya tidak mengeluarkan kata-kata kecuali yang baik; perilakunya tidak menyengsarakan orang lain melainkan justru membahagiakan; hartanya bermanfaat bagi banyak manusia; kalau dia berkuasa atau memegang amanah tertentu, dimanfaatkannya untuk sebesar-besar kemanfaat manusia.
3.        Tidak pernah merusak
Seperti yang disebutkan dalam hadits yang sedang kita bahas ini, lebah tidak pernah merusak atau mematahkan ranting yang dia hinggapi. Begitulah seorang mukmin. Dia tidak pernah melakukan perusakan dalam hal apa pun: baik material maupun nonmaterial. Bahkan dia selalu melakukan perbaikan-perbaikan terhadap yang dilakukan orang lain dengan cara-cara yang tepat. Dia melakukan perbaikan akidah, akhlak, dan ibadah dengan cara berdakwah. Mengubah kezaliman apa pun bentuknya dengan cara berusaha menghentikan kezaliman itu. Jika kerusakan terjadi akibat korupsi, ia memberantasnya dengan menjauhi perilaku buruk itu dan mengajukan koruptor ke pengadilan.

4.        Bekerja keras
Lebah adalah pekerja keras. Ketika muncul pertama kali dari biliknya (saat “menetas”), lebah pekerja membersihkan bilik sarangnya untuk telur baru dan setelah berumur tiga hari ia memberi makan larva, dengan membawakan serbuk sari madu. Dan begitulah, hari-harinya penuh semangat berkarya dan beramal. Bukankah Allah pun memerintahkan umat mukmin untuk bekerja keras? “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Alam Nasyrah: 7)
Kerja keras dan semangat pantang kendur itu lebih dituntut lagi dalam upaya menegakkan keadilan. Karena, meskipun memang banyak yang cinta keadilan, namun kebanyakan manusia –kecuali yang mendapat rahmat Allah– tidak suka jika dirinya “dirugikan” dalam upaya penegakkan keadilan.
5.        Bekerja secara jama’i dan tunduk pada satu pimpinan
Lebah selalu hidup dalam koloni besar, tidak pernah menyendiri. Mereka pun bekerja secara kolektif, dan masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri. Ketika mereka mendapatkan sumber sari madu, mereka akan memanggil teman-temannya untuk menghisapnya. Demikian pula ketika ada bahaya, seekor lebah akan mengeluarkan feromon (suatu zat kimia yang dikeluarkan oleh binatang tertentu untuk memberi isyarat tertentu) untuk mengudang teman-temannya agar membantu dirinya. Itulah seharusnya sikap orang-orang beriman. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)

6. Tidak pernah melukai kecuali kalau diganggu
Lebah tidak pernah memulai menyerang. Ia akan menyerang hanya manakala merasa terganggu atau terancam. Dan untuk mempertahankan “kehormatan” umat lebah itu, mereka rela mati dengan melepas sengatnya di tubuh pihak yang diserang. Sikap seorang mukmin: musuh tidak dicari. Tapi jika ada, tidak lari.
Itulah beberapa karakter lebah yang patut ditiru oleh orang-orang beriman. Bukanlah sia-sia Allah menyebut-nyebut dan mengabadikan binatang kecil itu dalam Al-Quran sebagai salah satu nama surah: An-Nahl. Allahu a’lam.

Melihat Wajah Setan

Nama-nama Setan Dan Pekerjaannya
Khanzab adalah setan pengganggu orang salat. Walhan adalah setan yang menggoda orang yang berwudhu dan membisikinya. Dasim adalah setan yang mengganggu keluarga dan rumah. Abyadh, setan paling buruk dan kuat menggoda para nabi.
Mujahid berkata,"Di antara keturunan setan adalah Laqnis dan Walhan,keduanya menggoda orang yang bersuci dan sholat. Keduanya digelari dengan al-Hafaf dan Murrah. Zalanbur, Setan yang menggoda di pasar yang  menghiasi hal yang sia-sia, sumpah, dusta dan memuji barang dagangannya. Bathar setan yang menggoda orang yang tertimpa musibah, membisikinya supaya mencakar wajah, memukul pipi, dan merobek kantong bajunya sendiri. Al-'Awar adalah setan penggoda orang yang berzina dengan menyebarkannya di kelamin laki-laki dan ketuaan pada perempuan."
Mathus, setan pemilik berita dusta yang disebarkan melalui mulut-mulut manusia yang tidak ada sumbernya. Dasim, yakni bila seorang memasuki rumah tanpa mengucapkan salam dan tidak mengingat Allah, maka dia dapat melihat harta kekayaan seseorang selama belum di angkat atau diperbaiki tempatnya. Bila seseorang makan dan tidak membaca basmallah, maka dia akan makan bersamanya.
Al 'Amasy berkata,"Ketika aku masuk ke dalam rumah dan tidak menyebut nama Allah SWT, serta tidak bersalam aku melihat api. Aku berkata,"Angkatlah, dan aku berbantahan dengannya. Kemudian aku ingat dan berkata, "Dasim, Dasim, Aku berlindung kepada Allah SWT darinya."
Ubay bin Kaab meriwayatkan dari Nabi SAW. Beliau bersabda,"Sesungguhnya wudhu itu ada setannya yang bernama Walhan. Maka takutlah kalian semua dari sifat was-was pada air."Diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Muslim meriwayatkan dari Ustman bin Abi Al Ash. Dia berkata,"Ya Rosulullah, setan telah menghalangi antara diriku dan salatku dan tanda-tanda yang ia kenakan padaku." Rosulullah bersabda,'Itu adalah setan yang di sebut Khanzab. Maka bila engkau merasakannya, berlindunglah kepada Allah darinya, dan meludahlah ke sebelah kirimu tiga kali.' Maka aku melakukan itu dan Allah menghilangkannya dariku."

Disarikan dari buk berjudul “Melihat Wajah Setan”.